Pejabat Elit Tanpa Sikap Elitis: Pesan Kebangsaan Prof. Dr. Abdul Mu’ti untuk Pendidikan dan Peradaban

 

Gambar animasi pejabat tidak harus elitis


Jakarta — Di tengah jarak yang kerap terasa lebar antara pejabat publik dan masyarakat, ceramah Profesor Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., pada sebuah acara nasional di Jakarta menghadirkan pesan reflektif yang kuat dan relevan bagi kehidupan berbangsa. Pesan itu sederhana namun mendalam: pejabat memang berada di posisi elit, tetapi tidak boleh bersikap elitis.


Menurut Prof. Abdul Mu’ti, jabatan publik bukanlah menara gading yang membuat seseorang berjarak dengan realitas sosial. Justru sebaliknya, jabatan adalah amanah untuk semakin dekat dengan masyarakat, khususnya kelompok akar rumput yang sering kali suaranya tidak terdengar. Seorang pejabat, tegasnya, harus mampu membaur, bergaul, dan mendengar langsung keluhan rakyat tanpa rasa gengsi, tanpa sikap jaim, dan tanpa sekat protokoler yang berlebihan.


Dalam ceramahnya, Prof. Abdul Mu’ti menekankan bahwa banyak kebijakan gagal menyentuh kebutuhan nyata masyarakat karena lahir dari ruang-ruang elite yang steril dari suara rakyat. Ketika pejabat terlalu menjaga jarak, kebijakan yang dihasilkan berpotensi menjadi elitis—indah di atas kertas, tetapi miskin dampak di lapangan. Padahal, kebijakan publik sejatinya harus berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan hanya memenuhi logika birokrasi atau kepentingan segelintir kalangan.


Pesan ini menjadi sangat penting dalam konteks dunia pendidikan. Prof. Abdul Mu’ti mengingatkan bahwa pendidikan tidak boleh dikelola dengan sudut pandang menara gading. Guru, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar sekolah adalah subjek utama yang harus didengar aspirasinya. Tanpa keberanian pejabat pendidikan untuk turun ke lapangan, mendengar langsung persoalan sekolah, kebijakan pendidikan berisiko kehilangan ruh kemanusiaannya.


Lebih jauh, Prof. Abdul Mu’ti menegaskan pentingnya sinergi antara pejabat dan rakyat dalam membangun peradaban umat yang lebih baik. Sinergi ini bukan slogan, melainkan kerja bersama yang lahir dari dialog, empati, dan keterbukaan. Pejabat harus hadir sebagai pelayan publik yang rendah hati, bukan penguasa yang merasa paling tahu.


Dalam pandangannya, peradaban yang kuat dibangun dari kebijakan yang adil dan membumi. Pendidikan sebagai fondasi peradaban hanya akan maju jika dikelola oleh pemimpin yang mau mendengar, mau belajar dari masyarakat, dan berani mengoreksi diri. Sikap inilah yang membedakan pemimpin yang sekadar berkuasa dengan pemimpin yang benar-benar melayani.


Ceramah Prof. Abdul Mu’ti pada akhirnya menjadi pengingat penting bagi siapa pun yang memegang jabatan publik. Elit bukan berarti elitis. Kekuasaan bukan untuk menjaga jarak, tetapi untuk mendekatkan diri. Dan kebijakan terbaik selalu lahir dari telinga yang mau mendengar dan hati yang mau berpihak kepada rakyat.


Pages