Gambar animasi: Ketika Cinta Tidak Butuh Logika
Ada masanya dalam hidup ketika hati berjalan lebih dulu daripada pikiran. Saat itu, cinta datang tanpa mengetuk pintu logika. Ia hadir begitu saja—tanpa rumus, tanpa perhitungan, tanpa pertanyaan tentang untung dan rugi. Kita mencintai bukan karena sempurna, bukan karena masa depan yang pasti, tetapi karena hati merasa “pulang” pada seseorang.
Dalam kondisi itu, logika sering kali hanya menjadi penonton. Nasihat orang tua terdengar sayup, peringatan sahabat dianggap angin lalu. Kita rela bertahan meski terluka, memaafkan meski berulang kali dikecewakan, dan berharap meski tanda-tanda mengatakan sebaliknya. Bukan karena kita bodoh, tetapi karena cinta memang memiliki caranya sendiri untuk membuat manusia bertahan lebih lama dari seharusnya.
Namun, di situlah pelajaran hidup mulai bekerja. Cinta yang tidak disertai logika sering kali mengajarkan dengan cara yang paling dalam: lewat kecewa, lewat air mata, lewat rasa lelah yang tak terucap. Dari sana kita belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang perasaan yang menggebu, tetapi juga tentang akal sehat yang menjaga. Bahwa mencintai diri sendiri adalah bagian dari mencintai orang lain.
Pada akhirnya, cinta tidak sepenuhnya salah saat ia tak butuh logika. Ia hanya sedang mengajari kita menjadi manusia—yang pernah salah memilih, pernah terlalu berharap, dan pernah jatuh terlalu dalam. Tapi dari pengalaman itulah kita tumbuh: lebih bijak, lebih tenang, dan lebih mampu membedakan mana cinta yang membangun, dan mana yang perlahan mengikis diri.
Karena cinta yang paling indah bukan yang membuat kita lupa diri, melainkan yang membantu kita tetap menjadi diri sendiri—utuh, waras, dan bermartabat.
Sering kali, cinta yang tak butuh logika datang di usia-usia pencarian jati diri, ketika hati masih belajar mengenali arah hidup. Di fase ini, cinta terasa seperti jawaban atas kesepian, pelarian dari luka, atau pengganti perhatian yang tak sempat kita dapatkan. Tanpa sadar, kita menggantungkan kebahagiaan pada seseorang, padahal seharusnya kebahagiaan itu tumbuh dari dalam diri sendiri. Di sinilah cinta yang berlebihan justru bisa mengaburkan tujuan dan mimpi.
Waktu akan menjadi guru yang paling jujur. Ia memisahkan mana cinta yang tulus dan mana yang hanya bertahan karena takut kehilangan. Ketika perlahan kita mampu berdiri tanpa menggenggam siapa pun, barulah kita paham bahwa cinta tidak seharusnya membuat kita mengecil, cemas, atau merasa tidak berharga. Cinta yang sehat memberi ruang untuk tumbuh, bukan memaksa bertahan dalam luka yang sama berulang kali.
Maka kepada siapa pun yang sedang berada dalam cinta tanpa logika, jangan terburu-buru menyalahkan diri. Ambillah pelajaran, simpan hikmahnya, dan lepaskan jika memang harus dilepaskan. Karena suatu hari nanti, cinta akan datang kembali—lebih tenang, lebih dewasa—berjalan seiring dengan logika, dan membawa kita menuju masa depan yang lebih jernih, damai, dan penuh keberkahan.
