Di sudut halaman UPTD SDN Jambu 2, ketika sebagian orang menghitung hari libur dan merayakan Nataru, suara palu masih setia berdetak. Bukan dentang yang gaduh, melainkan irama kerja—pelan, pasti, dan penuh niat baik. Di sanalah Pak Teguh berdiri, tukang sederhana dengan tangan kasar dan hati yang lembut, menyapa pagi dengan semangat yang tak pernah ia tawar.
Ia tahu, dinding yang ia tegakkan bukan sekadar susunan bata. Setiap adukan semen adalah doa agar ruang-ruang belajar kelak memberi rasa aman. Setiap paku yang tertancap adalah harapan agar anak-anak bisa tumbuh, berani bermimpi, dan belajar dengan nyaman. Di bawah terik dan kadang gerimis, Pak Teguh bekerja dengan ikhlas—bukan untuk sorak-sorai, melainkan demi senyum murid-murid yang akan kembali berlari di semester dua.
Ketika sekolah sunyi, Pak Teguh justru ramai dengan pikirannya sendiri. Ia membayangkan UKS yang rapi, toilet yang bersih, lantai yang kokoh, dan halaman yang tertata. Ia membayangkan guru mengajar dengan tenang, murid belajar tanpa waswas. Baginya, pelayanan terbaik tak selalu lahir dari rapat panjang, tapi dari kerja tulus yang selesai tepat waktu.
Inspirasi dari Pak Teguh sederhana namun dalam: bahwa membangun pendidikan bukan hanya tugas guru dan kepala sekolah. Ada tangan-tangan sunyi di baliknya—yang memilih tetap bekerja saat libur, yang menukar lelah dengan manfaat, yang percaya bahwa kebaikan akan menemukan jalannya sendiri. Pak Teguh mengajarkan kita satu hal penting: jika setiap orang menunaikan perannya dengan ikhlas, sekolah bukan hanya berdiri—ia hidup.
Dan ketika libur usai, murid-murid kembali dengan tawa baru, mungkin mereka tak tahu nama Pak Teguh. Tapi jejak baktinya ada di setiap langkah yang aman, di setiap ruang yang layak. Di situlah palu Pak Teguh berbunyi paling nyaring—dalam hati kita.
