Tahun 2026 menjadi momentum penting bagi tata kelola pendidikan dasar dan menengah di daerah. Salah satu penopang utamanya adalah implementasi Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Regulasi ini sejatinya tidak hanya mengatur prosedur administratif, tetapi juga menegaskan arah baru kepemimpinan pendidikan yang profesional, terukur, dan berbasis sistem. Namun demikian, tantangan terbesarnya justru terletak pada cara pemerintah daerah dan perangkat daerah—khususnya dinas pendidikan—memahami dan menafsirkan regulasi tersebut.
Tidak sedikit persoalan pendidikan di daerah yang bukan bersumber dari ketiadaan aturan, melainkan dari salah tafsir dan ketidakcermatan dalam membaca regulasi. Permendikdasmen 7/2025 harus dipahami secara utuh, sistematis, dan kontekstual, bukan sepotong-potong apalagi disesuaikan dengan kebiasaan lama. Regulasi ini secara tegas menggeser paradigma lama pengangkatan kepala sekolah yang sering kali berbasis subjektivitas atau kedekatan, menuju mekanisme penugasan berbasis data, kinerja, dan kompetensi.
Di sinilah peran strategis Pemda menjadi sangat menentukan. Kepatuhan Pemda terhadap Permendikdasmen 7/2025 bukan sekadar soal hierarki kewenangan antara pusat dan daerah, melainkan wujud etika dalam bernegara dan beradministrasi. Ketika regulasi pusat sudah memberikan rambu yang jelas—mulai dari persyaratan bakal calon kepala sekolah, tahapan seleksi, pelatihan, hingga penggunaan sistem informasi—maka ruang improvisasi daerah seharusnya berada pada penguatan kualitas pelaksanaan, bukan pada penafsiran bebas yang berpotensi menyalahi maksud regulasi.
Dinas pendidikan sebagai OPD teknis memegang kunci utama. Pemahaman regulasi tidak boleh hanya berhenti pada level normatif, tetapi harus diterjemahkan ke dalam petunjuk teknis, alur kerja, dan keputusan administratif yang konsisten. Ketergesaan dalam membaca pasal, ketidaklengkapan memahami konsideran, atau sekadar meniru pola lama, dapat berujung pada kesalahan prosedur yang berdampak panjang—baik bagi individu guru, kepala sekolah, maupun stabilitas manajemen sekolah itu sendiri.
Permendikdasmen 7/2025 juga menekankan pentingnya pendekatan sistem, salah satunya melalui pemanfaatan Sistem Informasi Manajemen Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan. Artinya, proses penugasan kepala sekolah tidak lagi berdiri di ruang abu-abu administrasi, melainkan harus tercatat, terlacak, dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika OPD mengabaikan atau setengah hati menggunakan sistem ini, maka yang muncul adalah dualisme kebijakan: satu versi di atas kertas, versi lain di lapangan.
Kehati-hatian menjadi kata kunci. Setiap kebijakan penugasan kepala sekolah harus didasarkan pada dokumen yang sah, data kinerja yang valid, serta proses yang transparan. Tidak ada ruang untuk tafsir personal, apalagi kepentingan sesaat. Sebab kepala sekolah bukan sekadar jabatan struktural, melainkan pemimpin pembelajaran yang menentukan arah mutu pendidikan di satuan pendidikan.
Lebih jauh, kepatuhan terhadap Permendikdasmen 7/2025 juga merupakan bentuk perlindungan terhadap semua pihak. Guru terlindungi dari praktik penugasan yang tidak adil, Pemda terlindungi dari potensi persoalan hukum dan administrasi, dan sekolah mendapatkan pemimpin yang memang disiapkan secara profesional. Di sinilah regulasi bekerja bukan sebagai beban, tetapi sebagai penjaga marwah tata kelola pendidikan.
Akhirnya, Pemda dan dinas pendidikan perlu menempatkan diri sebagai pelaksana kebijakan negara yang cermat dan bertanggung jawab. Membaca regulasi dengan seksama, memahami maksudnya secara utuh, dan melaksanakannya dengan penuh kehati-hatian adalah syarat mutlak agar reformasi kepemimpinan sekolah benar-benar berdampak. Sebab dalam pendidikan, satu kesalahan tafsir kebijakan hari ini, bisa menjadi masalah mutu yang panjang di masa depan.
