Ketika Alam Menjadi Guru
Opini Kebijakan Pendidikan dari Kintamani
Oleh: Suraji, MPd
Kintamani tidak hanya menghadirkan panorama alam yang memesona, tetapi juga ruang refleksi yang jujur tentang arah dan wajah pendidikan kita hari ini. Di hadapan Pegunungan Batur yang kokoh dan Danau Batur yang tenang, muncul kesadaran bahwa pendidikan seharusnya dibangun dengan keteguhan visi dan ketenangan batin. Alam mengajarkan bahwa sesuatu yang besar tidak selalu bising, dan sesuatu yang bermakna tidak harus tergesa-gesa.
Dalam beberapa waktu terakhir, kebijakan pendidikan kerap bergerak cepat, namun tidak selalu disertai dengan kedalaman refleksi. Banyak keputusan lahir dari tekanan target, kepentingan jangka pendek, bahkan dinamika politik, alih-alih dari kebutuhan nyata peserta didik dan pendidik. Kintamani seakan mengingatkan bahwa kebijakan yang baik tidak lahir dari kegaduhan, melainkan dari kejernihan berpikir dan keberanian untuk berpihak pada nilai.
Suasana sejuk pegunungan memberi jeda dari rutinitas birokratis yang sering kali menguras energi dunia pendidikan. Jeda ini penting. Pendidikan membutuhkan ruang kontemplasi agar arah kebijakan tidak sekadar administratif, tetapi substantif. Tanpa jeda reflektif, pendidikan berisiko kehilangan ruhnya dan terjebak pada prosedur tanpa makna.
Kebersamaan dengan para pendidik di Kintamani menghadirkan diskusi yang tidak hanya teknis, tetapi filosofis. Kami berbincang tentang pentingnya membangun pendidikan dari karakter pendidiknya terlebih dahulu. Guru yang berkarakter kuat, berjiwa tenang, dan memiliki kesadaran etik yang tinggi akan lebih mampu menerjemahkan kebijakan apa pun menjadi praktik pembelajaran yang manusiawi dan bermakna.
Di sinilah letak persoalan kebijakan pendidikan kita. Terlalu sering kebijakan difokuskan pada perubahan kurikulum, sistem evaluasi, atau perangkat administrasi, namun melupakan investasi pada penguatan karakter dan kesejahteraan pendidik. Padahal, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas manusia di dalamnya. Alam mengajarkan bahwa fondasi yang kuat menentukan ketahanan sebuah bangunan.
Gunung Batur berdiri teguh tanpa menindas sekitarnya, dan Danau Batur memberi kehidupan tanpa menuntut balasan. Dari sini, pendidikan semestinya belajar tentang kepemimpinan yang melayani dan kebijakan yang memberdayakan. Kebijakan pendidikan harus memberi ruang tumbuh, bukan menekan; harus memfasilitasi, bukan membebani; serta harus berpihak pada kepentingan jangka panjang generasi bangsa.
Refleksi ini juga menyentuh pentingnya kolaborasi dalam pengambilan kebijakan. Pendidikan tidak bisa dibangun secara elitis dan tertutup. Suara guru, kepala sekolah, dan komunitas pendidikan harus menjadi bagian dari proses perumusan kebijakan. Kolaborasi yang lahir dari kesadaran bersama jauh lebih kuat daripada instruksi yang lahir dari menara gading kekuasaan.
Ketika alam menjadi guru, kita diajak memahami bahwa keseimbangan adalah kunci. Kebijakan pendidikan harus mampu menyeimbangkan antara tuntutan mutu dan kemanusiaan, antara standar dan fleksibilitas, antara inovasi dan kearifan lokal. Tanpa keseimbangan ini, pendidikan akan kehilangan daya hidupnya dan menjauh dari realitas peserta didik.
Kintamani memberi pelajaran bahwa menyegarkan jiwa bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan bagi para pengambil kebijakan pendidikan. Keputusan yang lahir dari pikiran lelah dan hati yang jenuh berpotensi melahirkan kebijakan yang kering dan tidak berpihak. Sebaliknya, kebijakan yang lahir dari refleksi mendalam akan lebih adil, berkelanjutan, dan bermakna.
Akhirnya, refleksi dari Kintamani ini menegaskan bahwa pendidikan yang maju tidak hanya ditentukan oleh regulasi, tetapi oleh kesadaran moral para pelakunya. Ketika alam menjadi guru, kita diingatkan untuk kembali pada hakikat pendidikan: memanusiakan manusia, membangun karakter, dan menyiapkan masa depan bangsa dengan kebijakan yang berakar pada nilai, nurani, dan keberpihakan yang jelas.
