Bahaya Politisasi Pendidikan di Tengah Kebijakan Pendidikan Nasional yang Progresif

 

Gambar animasi politisasi pendidikan


Pendidikan seharusnya menjadi ruang paling steril dari kepentingan politik praktis. Ia adalah hak dasar warga negara sekaligus fondasi utama dalam membangun peradaban bangsa. Ketika pendidikan mulai dipolitisasi, maka yang terancam bukan hanya sistem pembelajaran, tetapi masa depan generasi dan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan.


Dalam konteks saat ini, kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sesungguhnya telah menunjukkan keberpihakan yang sangat jelas kepada seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Kebijakan yang lahir tidak hanya menyasar murid sebagai subjek utama pendidikan, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan guru, tenaga kependidikan, serta pemerataan dan penguatan infrastruktur pendidikan di berbagai daerah. Arah kebijakan ini menegaskan bahwa pendidikan ditempatkan sebagai kepentingan publik, bukan alat kekuasaan.


Namun, menjadi ironi ketika di tingkat daerah pendidikan justru mulai ditarik ke dalam pusaran kepentingan politik. Politisasi pendidikan dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari intervensi kebijakan sekolah yang tidak berbasis kebutuhan riil, pengambilan keputusan yang sarat kepentingan kelompok, hingga penempatan sumber daya pendidikan yang tidak objektif. Jika dibiarkan, kondisi ini akan merusak tata kelola pendidikan yang seharusnya profesional, transparan, dan berorientasi pada mutu.


Bahaya politisasi pendidikan paling nyata adalah terhambatnya manajemen dan pengelolaan pendidikan di daerah. Program-program strategis yang dirancang pusat dapat tidak berjalan optimal karena terganjal kepentingan jangka pendek. Sekolah kehilangan ruang untuk berkembang secara mandiri, guru kehilangan fokus dalam menjalankan tugas profesionalnya, dan murid menjadi pihak yang paling dirugikan karena hak belajarnya tidak terpenuhi secara maksimal.


Lebih jauh, politisasi pendidikan juga berpotensi menciptakan ketidakadilan. Pendidikan yang seharusnya inklusif dan merata justru bisa menjadi diskriminatif ketika dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Ini bertentangan dengan semangat kebijakan nasional yang menempatkan pendidikan sebagai sarana pemerataan kesempatan dan keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa.


Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh pemerintah daerah, pemangku kebijakan, dan aktor politik menahan diri untuk tidak menjadikan pendidikan sebagai arena kepentingan. Kebijakan pendidikan di daerah harus selaras dengan arah kebijakan nasional, dikelola secara profesional, dan berpijak pada kepentingan peserta didik serta kemajuan pendidikan itu sendiri.


Menjaga pendidikan dari politisasi bukan sekadar soal etika pemerintahan, tetapi juga komitmen moral terhadap masa depan bangsa. Ketika pendidikan dikelola secara murni, bebas dari kepentingan sempit, maka tujuan pendidikan nasional—mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya—akan benar-benar dapat tercapai tanpa ternodai oleh kepentingan pribadi maupun golongan.

Pages