Tahun 2025 menjadi salah satu fase penting dalam perjalanan pendidikan nasional. Sejumlah kebijakan dan terobosan dari kementerian yang membidangi pendidikan dasar dan menengah menghadirkan perubahan signifikan, baik dalam penguatan regulasi, peningkatan mutu layanan, maupun pemenuhan kebutuhan sarana-prasarana pendidikan. Refleksi terhadap tahun ini menunjukkan bahwa negara hadir semakin nyata di ruang-ruang kelas, bukan hanya melalui wacana, tetapi melalui program-program konkret yang dirasakan langsung oleh sekolah, guru, dan peserta didik.
Salah satu capaian yang menonjol adalah perhatian serius pada pembenahan infrastruktur pendidikan. Pembangunan fisik gedung sekolah, rehabilitasi ruang belajar, serta penyediaan sarana dan prasarana yang lebih layak menunjukkan komitmen kuat untuk menghadirkan lingkungan belajar yang aman, sehat, dan bermartabat. Hadirnya perangkat TIK seperti TV berlayar lebar dan sarana multimedia lainnya bukan sekadar simbol modernisasi, tetapi menjadi jembatan penguatan literasi digital dan peningkatan kualitas pembelajaran. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa akses teknologi adalah bagian dari hak peserta didik dalam memperoleh layanan pendidikan bermutu.
Selain itu, berbagai program afirmasi untuk pemerataan pendidikan semakin terasa. Kebijakan penerimaan peserta didik baru yang terus disempurnakan, perhatian pada kesejahteraan guru, serta upaya memastikan keadilan layanan antara sekolah negeri dan swasta merupakan langkah nyata menuju prinsip “pendidikan bermutu untuk semua”. Pendidikan yang berkeadilan tidak boleh memihak pada jenis lembaga tertentu; ia harus hadir bagi seluruh anak bangsa, di desa maupun kota, di pusat maupun pinggiran. Di sinilah makna kehadiran negara benar-benar diuji.
Pada saat yang sama, penguatan karakter juga menjadi fokus. Program “7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat”, yang mulai diterapkan luas di berbagai satuan pendidikan, merupakan investasi jangka panjang yang tidak kalah penting dari pembangunan fisik. Kebiasaan baik, budaya tertib, sehat, jujur, dan berakhlak mulia akan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral dan sosial. Jika dijalankan secara konsisten oleh sekolah, guru, orang tua, dan pemerintah daerah, program ini akan menjadi fondasi kuat bagi kualitas manusia Indonesia di masa depan.
Di tengah refleksi dan proyeksi pendidikan tersebut, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap daerah-daerah yang sedang dilanda bencana, seperti di sejumlah wilayah Sumatra dan Aceh menjelang akhir tahun ini. Di sana, banyak anak harus belajar dalam keterbatasan sarana, ruang belajar darurat, bahkan dengan rasa trauma yang belum sepenuhnya pulih. Namun pendidikan tetap harus berlangsung—meski sederhana, fleksibel, dan tidak harus sempurna—sebagai bentuk perhatian nyata kita kepada masa depan mereka. Negara sebenarnya telah hadir melalui berbagai program kedaruratan pendidikan, tetapi upaya ini masih perlu terus dimaksimalkan agar tidak ada satu pun anak korban bencana yang kehilangan haknya untuk belajar. Pendidikan harus tetap menyala dalam segala kondisi, karena di situlah harapan mereka untuk bangkit kembali dibangun.
Namun, refleksi 2025 juga memberi catatan penting: kebijakan yang baik di tingkat pusat harus diiringi keselarasan di tingkat daerah. Distorsi, multitafsir, atau penyelewengan kebijakan pendidikan pada tingkat lokal berpotensi menghilangkan ruh keadilan dan keberpihakan pada murid dan guru. Sudah seharusnya pemerintah daerah menempatkan diri sebagai pelaksana yang patuh pada regulasi nasional, bukan menciptakan aturan tandingan yang justru membingungkan dan merugikan. Pendidikan tidak boleh menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik atau kelompok; ia harus tetap berada pada rel kepentingan terbaik bagi peserta didik.
Memasuki tahun 2026, dunia pendidikan akan dihadapkan pada tantangan baru sekaligus peluang, di antaranya persiapan sistem seleksi dan penguatan kemampuan akademik seperti Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada jenjang tertentu. Lembaga pendidikan di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota perlu menyiapkan diri secara serius. Penguatan proses pembelajaran, pendampingan peserta didik, dan peningkatan kompetensi guru menjadi kunci agar anak-anak Indonesia siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan lebih percaya diri dan berdaya saing.
Proyeksi 2026 menuntut sinergi yang lebih erat: kebijakan pusat yang visioner, implementasi daerah yang konsisten, komitmen guru yang kuat, dan dukungan masyarakat yang luas. Seluruh upaya ini bermuara pada satu pesan penting: membangun pendidikan tidak boleh setengah hati dan tidak boleh pilih-pilih siapa yang berhak mendapatkan layanan terbaik. Pendidikan harus merata, berkeadilan, dan terbebas dari kepentingan politik praktis. Hanya dengan cara itu cita-cita “pendidikan bermutu untuk semua” benar-benar menjadi nyata, bukan sekadar slogan.
Refleksi ini mengingatkan kita bahwa masa depan pendidikan Indonesia dibangun hari ini: melalui keberanian membuat terobosan, kejujuran dalam melaksanakan kebijakan, dan ketulusan melayani murid, guru, dan satuan pendidikan tanpa diskriminasi. Semoga 2026 menjadi tahun konsolidasi mutu—bukan hanya penuh program, tetapi juga penuh keberkahan bagi lahirnya generasi cerdas, berkarakter, dan berdaya saing global.
Ditulis oleh:
Suraji, M.Pd.
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan Bangkalan
